MATERI 5
MENGAPRESIASI PUISI
(Unsur-unsur bentuk suatu puisi)
Kelas X
|
Semester Ganjil
|
Standar Kompetensi
5.
Memahami puisi yang disampaikan secara langsung/ tidak langsung
|
Kompetensi Dasar
5.1.
Mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu puisi yang disampaikan secara
langsung ataupun melalui rekaman
|
Tujuan Pembelajaran:
1. Secara Kognitif siswa
dapat:
·
Memahami pengertian dan unsur-unsur bentuk dalam puisi
·
Menganalisis unsur-unsur bentuk suatu puisi
|
2. Secara Afektif siswa
dapat:
·
Mengikuti kegiatas KBM dengan penuh antusias
·
Mengkomunikasikan permasalan yang belum dipahami
·
Memperjelas pendapat atau penjelasan yang disampaikan orang
lain
·
Membentuk pendapat untuk menanggapi suatu permasalahan
·
Menunjukan akhlak mulia atau kearifan lockal lainnya yang
dapat mengidentifikasi karakter bangsa.
|
3. Secara Psikomotorik
siswa dapat:
·
Melaksanakan kegiatan menganalisis unsur-unsur bentuk suatu
puisi
|
Jenis tagihan
Tugas
Ulangan harian 4
|
Puisi termasuk salah satu jenis karya sastra yang
berisi ungkapan perasaan penyair yang didalamnya mengandung rima dan irama,
serta diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat dan tepat(Depdikbud, 1997 :
794). Dapat dikatakan juga bahwa puisi adalah
bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya akan makna.
Keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima, dan irama yang
terkandung dalam karya sastra tersebut. Adapun kekayaan makna yang terkandung
dalam puisi disebabkan oleh pemadatan segala unsur bahasa.
Bahasa
yang digunakan dalam puisi berbeda dari bahasa yang digunakan sehari-hari.
Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, namun kaya akan makna. Kata-kata yang
digunakan adalah kata-kata konotatif, yang mengandung banyak penafsiran dan
pengertian. Secara garis besar, unsur-unsur puisi terbagi atas unsur fisik dan
unsur batin (Waluyo, 1991 : 29).
UNSUR-UNSUR
BENTUK DALAM PUISI
1) TIPOGRAFI
Perwajahan
puisi (tipografi),
yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi
kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai
dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat
menentukan pemaknaan terhadap puisi.
2) DIKSI
Diksi, yaitu pemilihan
kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah
bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka
kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi
erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
Kata-kata
yang digunakan dalam puisi merupakan hasil pemilihan yang sangat cermat.
Kata-kata tersebut merupakan hasil pertimbangan, baik makna, susunan bunyinya
maupun hubungan kata itu dengan katakatalain dalam baris dan baitnya.
Kedudukan
kata-kata dalam puisi sangat penting. Kata-kata ini harus bersifat konotatif
sehingga maknanya dapat lebih dari satu. Katakata yang dipilih, hendaknya,
bersifat puitis, yang mempunyai efek keindahan. Bunyinya pun harus indah dan
memiliki keharmonisan dengan kata-kata lainnya.
3) KATA KONKRET
Kata
konkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misalnya
kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll.,
sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat
hidup, bumi, kehidupan, dll.
4) VERIFIKASI/ PERSAJAKAN
Rima
adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Rima menjadikan puisi lebih indah. Di
samping itu, rima pun menjadikan makna lebih kuat. Contoh rima adalah: Dan
angin mendesah/mengeluh
mendesah. Di samping rima, dikenal pula istilah
ritma, yang artinya pengulangan kata, frase, atau kalimat dalam bait-bait
puisi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa:
v
Rima = pengulangan
bunyi
v
Ritma = pengulangan
kata
Menurut Adi Abdul Somad
(2007 : 30) bahwa peranan bunyi dalam puisi meliputi hal-hal berikut:
a) untuk menciptakan nilai keindahan
lewat unsur musikalitas atau kemerduan;
b) untuk menuansakan makna tertentu
sebagai perwujudan rasa dan sikap penyairnya;
c) untuk menciptakan suasana
tertentu sebagai perwujudan suasana batin dan sikap penyairnya.
5) PENGIMAJIAN/ PENGINDERAAN
Pengimajian
dapat didefinisikan sebagai kata atau susunan
kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi.
Dengan daya imajinasi tersebut, pembaca seolah-olah
merasakan, mendengar, atau melihat sesuatu yang diungkapkan
penyair. Pengimajian dalam puisi dapat
menimbulkan gambaran pencitraan dari pengideraan manusia yang sedang menikmati
puisi tersebut. Adapun citraan dalam puisi dapat berupa:
a)
Citraan penglihatan
Contoh : Wajahnya bak rembulan
b)
Citraan pendengaran
Contoh :Semayup suara
adzan memanggilmu dengan cukup sopan
c)
Citraan penciuman
Contoh : Bau anyir
semerbak dari perebutan kursi jabatan
d)
Citraan peraba
Contoh : Hembusan angin
mengiringi langkahku
e)
Citraan perasa
Contoh : Penghianatan itu
aku telan dalam kepahitan
f)
Citraan gerak
Contoh : Angin masuk
melewati jendela
g) Sinestesia, yaitu pertukaran dua
indera/citraan
Contoh : Kata-kata itu
begitu pedas di telingaku
Contoh diatas merupakan
penginderaan dari pertukaran dua indera yaitu perasa dan pendengaran
6) BAHASA FIGURATIF
Gaya
bahasa,
yaitu penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan/ meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis,
artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna.
Gaya bahasa disebut juga
majas. Majas (figurative of speech atau figurative language) adalah bahasa kias
yang dipergunakan untuk memperoleh efek tertentu dari suatu benda atau hal
dengan cara membandingkannya dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Dengan
kata lain, penggunaan majas tertentu dapat mengubah serta menimbulkan nilai
rasa atau konotasi tertentu (Tarigan, 1995: 112).
Menurut Perrine (dalam
Waluyo, 1995: 83), penggunaan majas dipandang lebih efektif untuk menyatakan
maksud penyair karena
a.
Majas
mampu memberi kesenangan imajinatif;
b.
Majas
adalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak
menjadi konkret dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca;
c.
Majas
adalah cara menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan
menyampaikan sikap penyair;
d.
Majas
adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara
menyampaikan sesuatu dengan bahasa yang singkat.
Secara garis besar majas
dikelompokkan menjadi 4 bentuk yaitu majas perbandingan, majas pertentangan,
majas pertautan, dan majas perulangan.
a. Majas
Perbandingan
1)
Perumpamaan (simile atau asosiasi)
Perumpamaan (simile)
adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan dengan sengaja
kita anggap sama. Perbandingan itu secara eksplisit (terlihat) dijelaskan
dengan pemakaian kata bagai, sebagai, ibarat, seperti, bak, laksana, semisal,
seumpama, umpama, dan serupa. Majas perumpamaan ini dapat dikatakan majas yang
paling sederhana dan paling banyak digunakan.
Contoh:
• Wajahnya putih laksana bulan purnama.
• Cobaan ini seperti badai yang tiada henti.
2) Metafora
Metafora adalah
perbandingan yang dilakukan secara implisit (tersamar) antara dua hal yang
berbeda. Metafora hampir sama dengan perumpamaan, hanya saja dalam metafora
perbandingan dilakukan secara langsung tanpa menggunakan kata bagai, sebagai,
ibarat, seperti, bak, laksana, semisal, seumpama, umpama, dan serupa.
Contoh:
• Aku adalah binatang jalang dari kumpulannya
terbuang.
• Dia sampah masyarakat di daerah ini.
• Buku adalah gudang ilmu, membaca adalah
kuncinya.
3) Personifikasi
Personifikasi adalah majas
yang melekatkan sifat-sifat insani (manusiawi) pada benda-benda yang tidak
bernyawa dan ide yang abstrak. Penggunaan majas personifikasi dapat memberi
kejelasan dan bayangan angan (citraan) yang konkret.
Contoh personifikasi dapat dilihat dalam baris
sajak berikut.
Jalan Kartini
…
barangkali dalam lelap
larut malam
bulan masuk kamar lewat
jendela kaca
menyelip di sela waktu
tidurku
sedang subuh masih lama
tiba
b. Majas
Pertentangan
1) Hiperbola
Hiperbola adalah majas
yang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan, baik jumlah, ukuran,
maupun sifat-sifatnya. Tujuan menggunakan majas hiperbola adalah untuk
mendapatkan perhatian yang lebih saksama dari pembaca.
Contoh:
• Sampah-sampah di Kota Bandung bertumpuk setinggi
gunung.
• Karena kekurangan gizi, badan anak itu kerempeng
tinggal kulit membalut tulang.
• Buku Harry Potter telah mengguncang dunia.
2) Litotes
Litotes sering dikatakan
sebagai kebalikan dari hiperbola. Litotes adalah majas yang di dalam pengungkapannya
menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang
bertentangan. Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan pernyataan yang sebenarnya.
Contoh:
• Mampirlah ke gubuk kami
yang kurang nyaman ini. (Padahal, kenyataannya, rumahnya bagus dan nyaman.)
• Ini hanyalah tulisan biasa
yang kurang berbobot. (Padahal, isi tulisan tersebut sangat bagus.)
3) Ironi
Ironi adalah majas yang
menyatakan makna yang bertentangan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
sindiran. Ironi dapat berubah menjadi sinisme dan sarkasme dengan munculnya
kata-kata yang lebih kasar.
Contoh ironi:
• Aduh, bersih sekali kamar ini, sampah makanan
bertebaran di mana-mana.
• Rajin sekali Anda datang ke sekolah, bel masuk
sudah berbunyi dua jam yang lalu.
4) Sinisme
Sinisme adalah majas yang
menyatakan sindiran secara langsung.
Contoh:
• Perkataanmu tadi sangat
menyebalkan.
Kata-kata itu tidak pantas disampaikan orang terpelajar seperti Anda!
• Bisa-bisa aku jadi
gila melihat
kelakuanmu itu!
5) Sarkasme
Sarkasme adalah majas
sindiran yang terkasar. Majas ini, biasanya, digunakan oleh seseorang yang
sangat marah.
Contoh:
• ''Mampus pun engkau tak ada
peduliku. Engkau tak pernah mau mendengarkan nasihatku.''
• ''Oh, mukamu yang seperti
monyet itu, jijik aku melihatnya."
6) Paradoks
Paradoks adalah suatu
majas yang mengandung pertentangan nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Contoh:
• Ia merasa kesepian di tengah-tengah keramaian
Kota
Jakarta.
• Gajinya besar, tetapi hidupnya melarat.
• Dengan
kelemahannya,
kaum wanita mampu menundukkan kaum pria.
7) Antitesis
Antitesis adalah majas
yang mempergunakan paduan kata yang berlawanan arti.
Contoh:
• Tua muda, besar
kecil, pria
wanita hadir
dalam pesta itu.
• Hidup matinya, susah
senangnya serahkanlah
kepadaku.
c. Majas
Pertautan
1) Metonimia
Metonimia adalah majas
yang mempergunakan nama suatu barang untuk sesuatu yang lain yang berkaitan
erat dengan barang tersebut. Dapat dikatakan pula bahwa metonimia adalah majas yang
memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau suatu
hal sebagai penggantinya.
Contoh:
• Siswa kelas X sedang menonton
pementasan Shakespeare di gedung teater. (Shakespeare digunakan untuk mengganti
salah satu karya drama Shakespeare yang dipentaskan.)
• Saya lebih suka Dewa karena
lirik lagunya penuh makna. (Hal yang dimaksud dengan Dewa dalam kalimat
tersebut adalah lagu-lagu yang dinyanyikan oleh kelompok band Dewa.)
• Peristiwa terbakarnya Garuda
menambah panjang catatan peristiwa kecelakaan pesawat udara di tanah air. (Hal yang
dimaksud garuda dalam kalimat tersebut bukan burung, melainkan nama pesawat
terbang.)
2) Sinekdoke
Sinekdoke adalah majas
yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan atau sebaliknya.
Sinekdoke digunakan untuk mengungkapkan kejadian langsung dari sumbernya
sehingga menimbulkan gambaran yang lebih konkret.
Ada dua macam sinekdoke,
yakni pars pro toto dan totem pro parte.
a) Pars pro toto adalah
sinekdoke yang menyatakan bagian untuk keseluruhan. Maksudnya, untuk menonjolkan suatu hal dengan menyebutkan
salah satu bagian yang terpenting dari keseluruhan hal, keadaan, atau benda dalam
hubungan tertentu. Misalnya, hanya menyebutkan suara, mata, hidung, atau bagian
tubuh yang lain untuk menggambarkan orang.
Contoh:
• Sudah lama dia tidak kelihatan
batang hidungnya.
• Setiap tahun, semakin
banyak mulut yang harus diberi makan.
b) Totem pro parte adalah
sinekdoke yang menyebutkan keseluruhan atau melihat sesuatu secara generalisasi
untuk menonjolkan sebagian.
Contoh:
• SMA Nusantara menjadi
juara umum dalam lomba catur nasional.
• Bandung meraih prestasi
gemilang di bidang kesenian.
3) Eufimisme
Eufimisme adalah ungkapan
yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap
merugikan, atau yang tidak menyenangkan. Eufimisme berkaitan dengan bentuk konotasi
positif dari sebuah kata.
Contoh:
Tunakarya bentuk halus dari pengangguran
Tunasusila bentuk halus dari pelacur
Prasejahtera bentuk halus dari sengsara
Tunarungu bentuk halus dari cacat tuli
4) Pleonasme
Pleonasme adalah majas yang menggunakan kata-kata
secara berlebihan dengan maksud menegaskan arti suatu kata.
Contoh:
•
Mereka
turun ke bawah untuk melihat keadaan barang-barang mereka yang
jatuh.
•
Dukun
itu menengadah ke atas sambil menengadahkan
tangannya.
•
Aku
menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.
d. Majas
Perulangan
1) Aliterasi
Aliterasi adalah majas
yang menggunakan kata-kata dengan bunyi awal yang sama (purwakanti).
Contoh:
Jadi
tidak setiap derita
jadi luka
tidak setiap sepi
jadi duri
tidak setiap tanda
jadi makna
tidak setiap jawab
jadi sebab
tidak setiap seru
jadi mau
tidak setiap tangan
jadi pegang
tidak setiap kabar
jadi tahu
tidak setiap luka
jadi kaca
memandang Kau
pada wajahku!
Karya Sutardji Calzoum
Bachri
Contoh lain misalnya:
dara damba daku
datang dari danau
duga dua duka
diam di diriku
2) Repetisi
Repetisi adalah majas yang
mengandung pengulangan berkali-kali atas kata atau kelompok kata yang sama.
Contoh bentuk repetisi dapat terlihat secara jelas dalam mantra dan puisi-puisi
karya Sutardji Calzoum Bachri. Kini, perhatikanlah puisi berikut.
Belajar Membaca
Kakiku luka
Luka Kakiku
Kakikau lukakah
Lukakah kakikau
Kakiku luka
Lukakaukah kakiku
Kalau lukaku lukakau
Kakiku kakikaukah
Kakikaukah kakiku
Kakiku luka kaku
Kalau lukaku lukakau
Lukakakukakiku
Lukakakukakikaukah
Lukakakukakikaukah
Lukakakukakiku
Sutardji Calzoum Bachri
DAFTAR
PUSTAKA:
Depdikbud.
1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka
Waluyo,
J.Herman. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi.
Bandung : Angkasa
Somad, Abdul
Adi, Aminudin dan Yudi Irawan. 2007. Aktif
dan Kreatif Berbahasa Indonesia untuk Kelas X SMA/MA. Jakarta
: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional
https://endonesa.wordpress.com/lentera-sastra/majas/
(diakses pada tanggal 20 September 2016)
Keraf, Gorys. 2004. Diksi
dan Gaya Bahasa ( Komposisi Lanjutan I). Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Tarigan, H.G. 1995. Pengajaran
Semantik. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar